Bola.com, Jakarta - Teks editorial adalah teks yang berisi pendapat berdasarkan fakta dan didukung dengan data. Meski berdasarkan fakta, teks editorial sering disebut sebagai teks opini.
Teks editorial umumnya dijumpai dalam majalah, surat kabar, maupun media online.
Baca Juga
Advertisement
Secara sederhana, teks editorial adalah artikel yang berisi tentang pemikiran atau opini tim redaksi media massa terhadap suatu isu, peristiwa, atau masalah. Teks ini juga dikenal sebagai tajuk rencana.
Meski bersifat opini, dalam penulisan teks editorial juga harus mengandung fakta sebagai bahan berita. Fakta ini akan ditelusuri kebenarannya sehingga dapat menghasilkan opini yang bermutu tinggi.
Fakta tersebut juga digunakan sebagai bahan untuk mendukung argumentasi atau opini yang disampaikan oleh tim redaksi media massa. Selain itu, opini yang disampaikan harus dapat dipertanggungjawabkan dan mengikuti aturan tertentu.
Agar kamu makin paham, berikut contoh teks editorial mudah dan ringan dibaca, dikutip dari laman Quipper dan Pengertianku, Selasa (19/9/2023).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Contoh Teks Editorial
CPNS bukan Arena Coba-Coba
Pernyataan Pendapat
Di tengah situasi yang makin sulit untuk mendapatkan pekerjaan, sebagian orang justru menyia-nyiakan kesempatan dengan mengundurkan diri dari status calon pegawai negeri sipil (CPNS). Mereka yang bersikap dan berlaku seperti itu tak boleh dibiarkan begitu saja.
Argumentasi
Fakta terkait dengan banyaknya CPNS yang mundur diungkapkan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Awalnya dilaporkan jumlah yang mengundurkan diri sebanyak 105 orang, tetapi perkembangan terkini berkurang menjadi 100 orang.
Mereka ialah bagian dari 112.514 orang yang lolos seleksi CPNS. Jika dipersentase, jumlahnya memang sedikit. Namun, jika kita tilik dari tingginya ketimpangan antara pencari dan lowongan kerja, 100 orang yang mengundurkan diri dari CPNS ialah jumlah yang banyak. Sangat banyak bahkan.
Mereka mundur karena beragam alasan. Yang paling utama ialah persoalan gaji dan tunjangan yang bakal diterima tak sesuai ekspektasi. Penghasilan PNS memang tidak besar.
Sesuai Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2019, besaran gaji pokok mereka sesuai dengan golongan dan lama masa kerja atau masa kerja golongan. Besarannya dihitung berdasarkan capaian pendidikan terakhir dan masa kerja mulai kurang dari satu tahun hingga 27 tahun. Untuk golongan I yang merupakan lulusan SD-SMP, misalnya, gaji PNS di rentang Rp1,56 juta hingga Rp2,33 juta.
Lalu, untuk golongan II alias lulusan SMA dan D3, gaji terendah mulai Rp2,02 juta hingga Rp3,37 juta dan tertinggi Rp2,39 juta sampai Rp3,82 juta. Untuk PNS golongan III lulusan S-1 hingga S-3, gaji terendah Rp2,57 juta-Rp4,2 juta dan tertinggi Rp2,92 juta-Rp4,79 juta.
Selain soal gaji, alasan mundurnya CPNS ialah lokasi pekerjaan yang tak sesuai. Atau, mereka mendapatkan kesempatan di tempat lain. Kehilangan motivasi menjadi penyebab lain.
Sangat wajar bagi setiap orang mempertimbangkan masalah penghasilan dalam mencari kerja. Harus diakui pula, gaji PNS masih terbilang kecil. Itu bahkah lebih kecil ketimbang upah minimun provinsi di sejumlah provinsi. Namun, mundur dari CPNS karena alasan itu ialah sikap yang keliru.
Bukankah mereka yang melamar kerja di pemerintahan sudah tahu soal itu? Bukankah kerap kita suarakan bahwa PNS bukanlah profesi untuk menjadi kaya kendati tidak sedikit di antara mereka yang kaya raya? Kalau ingin kaya, kerjalah di sektor swasta atau jadi pengusaha. PNS ialah tempat mengabdi, meski tentu saja negara pantang membiarkan mereka hidup susah.
Pun soal alasan tak cocok lokasi kerja. Kiranya semua sudah paham bahwa setiap PNS harus bersedia dan siap ditempatkan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia, bahkan di luar negeri. Hal itu sudah menjadi syarat yang jamak tertera saat pemerintah membuka lowongan.
Mereka yang mengundurkan diri dari CPNS telah mengakibatkan dua kerugian. Pertama merugikan negara yang telah mengeluarkan anggaran dalam proses rekrutmen dan formasi instansi yang harusnya terisi jadi kosong. Kedua merugikan orang lain karena hilangnya kesempatan.
Oleh karena itu, kita sepakat negara memberikan sanksi tegas. Kita sepakat pula dengan rencana pemerintah menjatuhkan sanksi lebih berat. Satu di antaranya ialah wacana mem-blacklist mereka untuk mengikuti rekrutmen dari ketentuan saat ini selama satu periode menjadi lima periode atau lima tahun.
Sanksi denda juga harus ditegakkan. Ketentuannya sudah digariskan. Besaran denda berbeda-beda antara instansi yang satu dan yang lain. Sebagai contoh, CPNS Kementerian Luar Negeri yang mundur harus membayar denda Rp50 juta. Denda di Badan Intelijen Negara bahkan bisa mencapai Rp100 juta.
Reiteration
Namanya aturan harus dijalankan, bukan hanya jadi pajangan. Kita tak ingin rekrutmen CPNS menjadi ajang coba-coba. Kita ingin PNS yang sejak awal punya keteguhan hati untuk menjadi abdi negara, abdi masyarakat.
Berdasarkan teks editorial tersebut, kalimat fakta terdapat dalam poin berikut:
- Mereka ialah bagian dari 112.514 orang yang lolos seleksi CPNS.
- Sesuai Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2019, besaran gaji pokok mereka sesuai dengan golongan dan lama masa kerja atau masa kerja golongan.
- Besarannya dihitung berdasarkan capaian pendidikan terakhir dan masa kerja mulai kurang dari satu tahun hingga 27 tahun.
- Untuk golongan I yang merupakan lulusan SD-SMP, misalnya, gaji PNS di rentang Rp1,56 juta hingga Rp2,33 juta.
- Lalu, untuk golongan II alias lulusan SMA dan D3, gaji terendah mulai Rp2,02 juta hingga Rp3,37 juta dan tertinggi Rp2,39 juta sampai Rp3,82 juta.
- Untuk PNS golongan III lulusan S-1 hingga S-3, gaji terendah Rp2,57 juta-Rp4,2 juta dan tertinggi Rp2,92 juta-Rp4,79 juta.
Sementara untuk kalimat opini terdapat pada poin:
- Sangat wajar bagi setiap orang mempertimbangkan masalah penghasilan dalam mencari kerja.
- Namun, mundur dari CPNS karena alasan itu ialah sikap yang keliru.
- Kalau ingin kaya, kerjalah di sektor swasta atau jadi pengusaha. PNS ialah tempat mengabdi, meski tentu saja negara pantang membiarkan mereka hidup susah.
- Oleh karena itu, kita sepakat negara memberikan sanksi tegas. Kita sepakat pula dengan rencana pemerintah menjatuhkan sanksi lebih berat.
Advertisement
Contoh Teks Editorial
Melindungi Ibu Pendidikan
Pernyataan Pendapat
Satu di antara prasyarat jika ingin bangsa bergerak maju ialah pendidikan yang kuat. Pendidikan ialah fondasi sekaligus tiang kemajuan bangsa. Jangan bermimpi bangsa ini akan kuat dan maju kalau sektor pendidikan tak dijadikan unggulan. Begitu kredo yang selalu kita pegang dan yakini selama ini.
Guru tentu saja menjadi aktor utama dari kredo tersebut. Tanpa guru, pendidikan bukanlah apa-apa karena sejatinya di tangan merekalah penyemaian dan penumbuhan benih-benih calon pelaku kemajuan bangsa diletakkan. Karena itu, patutlah bila guru dijunjung dan dimuliakan. Negara bahkan menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru, sebagai simbolisasi penghormatan tinggi kepada guru.
Argumentasi
Namun, amat disayangkan, pendidikan hari-hari ini justru melenceng dari pakem tersebut. Fenomena memilukan makin sering menimpa dunia pendidikan kita. Ironisnya, guru kerap menjadi korban. Mereka yang mestinya dimuliakan malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan hingga kekerasan. Celakanya, kekerasan tidak hanya datang dari siswa didik, tetapi juga oleh orang tua murid.
Dua peristiwa kekerasan terhadap guru yang terjadi belum lama ini di Gresik, Jawa Timur, dan Takalar, Sulawesi Selatan, seolah menjadi peneguh bahwa corengan terhadap dunia pendidikan Tanah Air sudah kian mengkhawatirkan. Kejadian serupa selalu berulang, nyaris tanpa pernah ada solusi komprehensif dan konkret.
Di Gresik, seorang murid SMP berani menantang guru yang menegur dia untuk tidak merokok di dalam kelas. Tak hanya menantang, si murid bahkan berani memegang kepala sang guru dan mendorongnya. Di Takalar, seorang pegawai honorer dianiaya empat siswa SMP beserta orangtua mereka setelah awalnya dia diejek dan dilecehkan.
Kejadian-kejadian memiriskan itu di satu sisi mengisyaratkan bahwa kemerdekaan guru dalam menjalankan amanah pendidikan kian terampas. Guru bukan lagi seperti kata falsafah Jawa "digugu lan ditiru", melainkan hanya sebatas petugas pengajar tanpa wibawa yang semestinya. Di sisi yang lain, itu dapat juga diinterpretasikan bahwa sistem pendidikan nasional kita memang masih jauh dari ideal.
Fakta itu makin menjadi ironi karena pada saat yang hampir bersamaan, dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2019 di Sawangan, Depok, Jawa Barat, yang digelar Kemendikbud, isu yang berkembang meneguhkan bahwa pembangunan sumber daya unggul mesti dilakukan melalui sistem pendidikan yang kuat. Membangun manusia tidak sebatas pada kemampuan inteligensi, tetapi juga mencakup rasa, norma, dan karakter.
Dalam rembuk itu juga profesionalitas guru menjadi satu di antara sasaran program pemerintah di sektor pendidikan. "Ke depan kami akan menjadikan guru sebagai ibu pendidikan," kata Ananto Kusuma Seta, Ketua Steering Committee RPNK 2019.
Kita menyambut baik bila guru memang dipersiapkan menjadi ibu pendidikan. Itu akan memperkuat posisi guru sebagai bagian paling penting dalam sistem pendidikan kita di masa mendatang. Karena itu, upaya mengangkat profesionalitas kiranya juga harus dibarengi dengan penguatan perlindungan terhadap profesi guru.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen jelas disebutkan bahwa selain punya kewajiban, satu di antaranya mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademis dan kompetensi, guru juga berhak mendapatkan perlindungan dalam melaksanakan tugasnya. Artinya, negara mesti memastikan bahwa paradigma pendidikan di masa depan harus mampu meramu solusi atas dua persoalan tersebut, yakni keringnya profesionalitas dan tumpulnya perlindungan terhadap guru.
Reiteration
Dua tragedi kekerasan terhadap guru dan kegiatan RPNK 2019 sepatutnya bisa menjadi momentum baik bagi pemerintah untuk menyusun sistem pendidikan berbasis paradigma baru tersebut. Selalu ada secercah harapan untuk maju. Namun, tanpa keinginan kuat untuk mengubah sistem yang ada sekarang, generasi bangsa ini mungkin akan terus merasa risau melihat buramnya dunia pendidikan.
Contoh Teks Editorial
Menguji Pendidikan tanpa Tatap Muka
Pernyataan Pendapat
Masa pandemi terus menguji kesanggupan adaptasi hidup. Kini ujian itu sedang ditatap dunia pendidikan. Sejak minggu lalu, rumor pembukaan sekolah dengan dimulainya tahun ajaran 2020/2021 pada Juli, langsung membuat orang tua dan guru resah.
Senin (15/6), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, akhirnya memberikan penjelasan melalui pengumuman rencana penyusunan Keputusan Bersama Empat Kementerian tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran dan Tahun Akademik Baru di Masa Pandemi Covid-19.
Argumentasi
Peserta didik yang berada di zona kuning, oranye, dan merah dinyatakan tetap melakukan pembelajaran dari rumah (PJJ). Ini mencakup 94 persen peserta didik di pendidikan dini, dasar, dan menengah. Dengan begitu, hanya enam persen peserta didik yang diperkenankan menjalani pembelajaran di sekolah.
Namun, selain berada di zona hijau, masih ada tiga syarat untuk melaksanakan pembelajaran di sekolah, yakni berdasarkan keputusan pemerintah daerah atau kantor wilayah/Kantor Kementerian Agama memberi izin, satuan pendidikan sudah memenuhi semua daftar periksa dan siap melakukan pembelajaran tatap muka, serta disetujui oleh orangtua/wali murid.
Kita harus setuju bahwa persyaratan untuk berlangsungnya pembelajaran di sekolah itu ialah bentuk adaptasi yang baik. Persyaratan itu tidak hanya memperhitungkan aspek keamanan kesehatan, tetapi juga aspek kesiapan teknis dan psikologis.
Para orang tua dan guru semestinya tidak lagi risau, bahkan panik dengan panduan pembelajaran ini. Sebab, selama sekitar tiga bulan berlangsungnya PJJ, keluhan pun tidak sedikit.
Kendala utama apalagi kalau bukan akses internet. Ini bukan hanya terkait infrastruktur yang memang belum tersedia, tetapi juga beban ekonomi baru akibat mahalnya biaya internet.
Maka pembelajaran kembali di sekolah, bukan saja pilihan yang baik bagi peserta didik di zona hijau, melainkan memang urgent sebab banyak peserta didik di zona itu yang selama tiga bulan ini tidak bisa belajar dengan semestinya karena memang minimnya akses internet di sana.
Pemaksaan PJJ sesungguhnya menutup mata dari ketimpangan akses internet yang sangat nyata di negeri ini.
Di sisi lain, para orang tua yang berada di luar zona hijau juga semestinya tidak sepenuhnya bergembira dengan pemberlakuan PJJ sebab ada pekerjaan rumah besar yang belum diselesaikan Kemendikbud dan sangat berdampak pada kualitas pendidikan.
Sebagaimana yang sudah dikatakan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, Prof Unifah Rosyidi, hingga saat ini pemerintah belum membuat standar pembelajaran di masa pandemi.
Bahkan mengenai konsep "pembelajaran bermakna" yang ditugaskan kepada para guru, pemerintah hingga saat ini pun belum membuat ukuran-ukurannya.
Bisa dibayangkan, jika guru saja bingung, lalu kualitas ilmu macam apa yang kita harapkan dicapai anak-anak kita?
Dalam tahap ini pemerintah semestinya sadar jika adaptasi di masa pandemi, terlebih buat dunia pendidikan, tidaklah sekadar ada, tetapi juga menjaga kualitasnya. Ini terutama penting karena dampak panjang sebuah pendidikan.
Reiteration
Maka sudah saatnya, Kemendikbud segera menyelesaikan tugas penting selanjutnya, yakni memastikan kualitas pendidikan yang sama di semua model pembelajaran, baik daring, se midaring, maupun luring.
Sumber: Pengertianku, Quipper
Yuk, baca artikel edukasi lainnya dengan mengikuti tautan ini.
Advertisement