Bola.com, Jakarta - Pahlawan revolusi adalah gelar yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada beberapa perwira militer yang gugur dalam peristiwa G30S PKI.
G30S terjadi pada 30 September 1965 yang kemudian dikenal dengan Gerakan 30 September, yaitu pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bertujuan untuk mengubah ideologi bangsa Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Dalam peristiwa tersebut, pemberontakan memakan korban para petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat AD dan beberapa korban lainnya. Berdasarkan keputusan Presiden pada 1965, pahlawan yang gugur dalam peristiwa G30S diberi gelar Pahlawan Revolusi.
Adapun sejak berlakunya UU nomor 20 Tahun 2009, gelar Pahlawan Revolusi juga telah diakui sebagai gelar Pahlawan Nasional. Mereka yang diberi gelar tersebut ada tujuh orang. Siapa saja mereka?
Berikut ini nama-nama pahlawan revolusi dalam peristiwa G30S PKI yang perlu diketahui, dilansir dari kemdikbud.go.id, Jumat (29/9/2023).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
1. Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani
Ahmad Yani adalah seorang petinggi TNI AD di masa Orde Lama. Ia lahir di Jenar, Purworejo, pada 19 Juni 1922. Ketika muda, Ahmad Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Setelah itu, karier Ahmad Yani berkutat di militer. Ia turut ikut dalam pemberantasan PKI Madiun 1948, Agresi Militer Belanda II, dan juga penumpasan DI/TII di Jawa Tengah.
Pada 1958 ia diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang Sumatra Barat untuk menumpas pemberontakan PRRI.
Ia diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tahun 1962. Namun, pada tahun 1965 Ahmad Yani mendapatkan fitnah ingin menjatuhkan Presiden Soekarno. Ia harus tewas ketika pemberontakan G30S pada 1 Oktober 1965.
Advertisement
2. Letjen (Anumerta) Suprapto
Suprapto lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920. Ia sempat mengikuti pendidikan di Akademi Militer Kerajaan Bandung, tetapi harus terhenti karena pendaratan Jepang di Indonesia.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, Suprapto aktif dalam usaha merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Ia kemudian memasuki Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto dan ikut dalam pertempuran di Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Sudirman.
Kariernya terus melejit di militer. Namun, ketika PKI mengajukan pembentukan angkatan perang kelima, Suprapto menolaknya.
Ia pun menjadi korban pemberontakan G30S bersama para petinggi TNI AD lainnya. Jasadnya ditemukan di Lubang Buaya.
Suprapto dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
3. Letjen (Anumerta) S. Parman
Siswondo Parman atau yang lebih dikenal dengan S. Parman adalah salah seorang petinggi TNI AD di masa Orde Lama. Ia dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918.
Pendidikannya lebih berkutat di bidang intelijen. Ia pernah dikirim ke Jepang untuk memperdalam ilmu intelijen pada Kenpei Kasya Butai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia mengabdi kepada Indonesia untuk memperkuat militer Tanah Air.
Pengalamannya di bidang intelijen sangat berguna bagi TNI kala itu. Ia mengetahui rencana-rencana PKI yang ingin membentuk angkatan kelima.
Namun, pada 1 Oktober 1965 ia diculik dan dibunuh bersama para jenderal lainnya. S. Parman gugur dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.
Advertisement
4. Letjen (Anumerta) M.T. Haryono
Mas Tirtodarmo Haryono atau yang lebih dikenal dengan M. T. Haryono lahir pada 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur.
Sebelum terjun ke dunia militer, M. T. Haryono pernah mengikuti Ika Dai Gaku (sekolah kedokteran) di Jakarta pada masa pendudukan Jepang. Barulah setelah kemerdekaan Indonesia M. T. Haryono bergabung bersama TKR dengan pangkat mayor.
Kepiawaiannya dalam berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman berguna bagi Indonesia ketika melakukan berbagai perundingan internasional.
Ia kemudian berkutat di Kementerian Pertahanan. M. T. Haryono juga sempat menjabat sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Ia kemudian menjadi Atase Militer RI untuk Negeri Belanda (1950) dan sebagai Direktur Intendans dan Deputy Ill Menteri/Panglima Angkatan Darat (1964). Nahas, di tahun 1965 M. T. Haryono gugur bersamaan dengan para petinggi TNI AD lain akibat pemberontakan G30S.
5. Mayjen (Anumerta) D. I. Panjaitan
Donald Ignatius Panjaitan atau D. I. Panjaitan lahir pada 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli. Pada masa pendudukan Jepang ia memasuki pendidikan militer Gyugun.
Kemudian ia ditempatkan di Pekanbaru, Riau, sampai saat proklamasi kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, D. I. Panjaitan ikut membentuk TKR. Ia memiliki karier yang cemerlang di bidang militer.
Menjelang akhir hayatnya, ia diangkat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat dan mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat.
Jenderal dari Sumatra ini pun juga tewas ketika terjadi pemberontakan PKI 1965 bersama dengan para jenderal lainnya.
Advertisement
6. Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo
Sutoyo Siswomiharjo lahir 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang ia mendapat pendidikan pada Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta, dan kemudian menjadi pegawai negeri pada Kantor Kabupaten di Purworejo.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia memasuki TKR bagian Kepolisian, akhirnya menjadi anggota Korps Polisi Militer. Ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto dan kemudian menjadi Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo.
Kariernya terus melesat. Tahun 1961, ia diserahi tugas sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat. Akan tetapi, Sutoyo yang menentang pembentukan angkatan kelima gugur dalam peristiwa G30S.
7. Brigjen (Anumerta) Katamso
Katamso dilahirkan pada 5 Februari 1923 di Sragen, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang ia mengikuti pendidikan militer pada PETA di Bogor, kemudian diangkat menjadi Shodanco Peta di Solo.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia masuk TKR yang kemudian menjadi TNI.
Ia terus berkiprah bersama militer Indonesia. Tahun 1958, Katamso dikirim ke Sumatra Barat untuk menumpas pemberontakan PRRl sebagai Komandan Batalion A Komando Operasi 17 Agustus.
Setelah itu menjadi Kepala Staf Resimen Team Pertempuran (RIP) II Diponegoro di Bukittinggi. Katamso juga menjadi korban keganasan G30S.
Ia gugur karena diculik dan dibunuh. Mayatnya ditemukan 22 Oktober 1965. Katamso dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Advertisement
8. Kapten (Anumerta) Pierre Tendean
Piere Tendean lahir 21 Februari 1939 di Jakarta. Selesai mengikuti pendidikan di Akademi Militer Jurusan Teknik tahun 1962 ia menjabat Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan.
Ia ikut bertugas menyusup ke daerah Malaysia ketika sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.
Pada bulan April 1965, perwira muda ini diangkat sebagai ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution.
Ketika bertugas, Pierre Tendean tertangkap oleh kelompok G30S. Ia mengaku sebagai A. H. Nasution di mana sang jenderal berhasil melarikan diri. Namun, dirinya harus mengorbankan nyawa untuk melindungi Jenderal Nasution.
9. A.I.P. II (Anumerta) K. S. Tubun
Karel Satsuit Tubun dilahirkan di Tual, Maluku Tenggara, pada 14 Oktober 1928. Tamat dari Sekolah Polisi Negara di Ambon ia diangkat sebagai Agen Polisi Tingkat II dan mendapat tugas dalam kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon.
Kemudian ia ditempatkan pada kesatuan Brimob Dinas Kepolisian Negara di Jakarta. Tahun 1955 dipindahkan ke Medan, Sumatra Utara, dan tahun 1958 dipindahkan ke Sulawesi.
Ketika meletus pemberontakan G30S, ia termasuk salah seorang korban keganasan pemberontakan tersebut. K. S. Tubun waktu itu sedang bertugas sebagai pengawal di kediaman Dr. Y. Leimena, yang berdampingan dengan rumah Jenderal A. H. Nasution.
Satsuit Tubun melawan dan terjadi pergulatan dan akhirnya K. S. Tubun ditembak hingga gugur. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Advertisement
10. Kolonel (Anumerta) Sugiyono
Sugiyono lahir pada 12 Agustus 1926 di Desa Gendaran, Gunung Kidul, Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang, Sugiyono mendapat pendidikan militer pada Pembela Tanah Air (PETA).
Kemudian ia diangkat menjadi Budanco di Wonosari. Kariernya terus berkecimpung di dunia militer, mengikuti beberapa penumpasan pemberontakan di Tanah Air.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Sugiyono yang baru saja kembali dari Pekalongan ditangkap di Markas Korem 072 yang telah dikuasai gerombolan PKI.
la dibunuh di Kentungan di sebelah Utara Yogyakarta dan jenazahnya ditemukan pada 22 Oktober 1965, kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Sumber: Kemdikbud
Baca artikel seputar edukasi lainnya dengan mengeklik tautan ini.