Bola.com, Jakarta - Agresi adalah perilaku yang berhubungan dengan psikologi dan sosial seseorang. Berkaitan dengan tindakan yang agresif, agresi sering kali menimbulkan kerugian dalam interaksi sosial yang sedang dibangun atau sedang terjadi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, agresi adalah perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat diarahkan kepada orang atau benda.
Baca Juga
Advertisement
Sedangkan dalam psikologi sosial, agresi adalah suatu tindakan yang menggambarkan setiap perilaku yang ditujukan untuk menyakiti seseorang atau hewan atau merusak properti fisik.
Agresi dapat dialami oleh siapa saja dan di mana saja. Perilaku agresi adalah perilaku yang mengacu pada adanya kekerasan, intimidasi, baik secara fisik maupun emosional.
Maka itu, penting untuk mengetahui penyebab perilaku agresi dan cara mengatasinya. Apa saja penyebab agresi dan bagaimana cara mengatasinya
Berikut cara mengatasi perilaku agresi, disadur dari Liputan6, Selasa (7/11/2023).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Jenis Agresi
Agresi adalah perilaku yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu agresi impulsif dan agresi instrumental. Berikut penjelasannya, beserta dengan contohnya:
1. Agresi Impulsif
Jenis agresi ini, juga dikenal sebagai agresi emosional atau afektif, cenderung berasal langsung dari emosi yang dialami saat itu. Agresi jenis ini mungkin terasa tidak terkendali atau datang entah dari mana.
Jika kamu tidak dapat mengakses orang atau hal yang membuat kesal, kamu mungkin mengarahkan agresi ini ke sesuatu atau seseorang lain yang dapat diakses.
Contoh agresi impulsif:
Seorang teman sekelas mengambil buku yang dibutuhkan untuk penelitianmu dari perpustakaan. Ketika mereka pergi untuk menggunakan kamar kecil, kamu pergi untuk mengambil buku dan mematikan komputer mereka sehingga mereka kehilangan pekerjaan yang sedang mereka kerjakan.
2. Agresi instrumental
Jenis agresi ini, juga dikenal sebagai agresi kognitif, melibatkan perencanaan dan niat, biasanya untuk mencapai keinginan atau tujuan tertentu.
Semua agresi melibatkan tingkat niat untuk menyakiti seseorang. Namun, tindakan agresi instrumental umumnya melibatkan lebih banyak perhitungan dan tujuan, tanpa kehilangan kendali.
Contoh agresi instrumental:
Kamu baru saja melamar promosi di tempat kerja ketika kamu mendengar atasan akan mempromosikan rekan kerja lain dan mengatakan bahwa mereka sangat cocok.
Kamu menginginkan posisi itu, jadi kamu memberitahu beberapa orang bahwa kamu menyebarkan gosip tentang rekan kerja di kantor, berharap rumor itu sampai ke atasan, dan membuatnya tidak mendapatkan jabatan tersebut.
Advertisement
Faktor Penyebab Agresi
1. Faktor biologis
Perkembangan otak yang tidak teratur. Pakar telah menghubungkan peningkatan aktivitas di amigdala dan penurunan aktivitas di korteks prefrontal dengan agresi.
Lesi di otak, yang dapat terjadi dengan kondisi neurodegeneratif, juga dapat menyebabkan perilaku agresif. Mutasi gen tertentu, termasuk monoamine oksidase juga dapat berkontribusi.
Tingkat neurotransmiter tertentu yang sangat tinggi atau rendah, termasuk serotonin, dopamin, dan asam gamma-amino-butirat (GABA), juga dapat menyebabkan perilaku agresif.
Obat-obatan dan zat yang menyebabkan perubahan pada otak terkadang dapat menyebabkan perilaku agresif.
Beberapa contoh termasuk kortikosteroid, alkohol, steroid anabolik, dan phencyclidine (PCP). Sebagai akibat dari kondisi kesehatan tertentu yang merusak otakmu, termasuk stroke, dementia, dan cedera kepala.
2. Faktor psikologi
Perilaku agresif terkadang dapat terjadi sebagai gejala kondisi kesehatan mental tertentu, termasuk gangguan perilaku, gangguan explosif intermittent, gangguan oposisi dan menantang (ODD), gangguan perhatian defisit hiperaktif (ADHD), gangguan stres pasca trauma (PTSD), dan autisme.
Kemudian ada gangguan bipolar, skizofrenia, depresi, gangguan penggunaan zat, stres kronis, gangguan kepribadian tertentu, termasuk antisosial dan narsistik. Tentu saja, agresi tidak selalu berarti kamu memiliki kondisi kesehatan mental.
3. Faktor lingkungan
Keadaan dan tantangan dalam kehidupan dan lingkungan sehari-hari juga dapat berkontribusi pada perilaku agresif. Agresi dapat terjadi sebagai respons alami terhadap stres, ketakutan atau rasa kehilangan kendali.
Kamu mungkin juga merespons dengan agresi ketika kamu merasa frustrasi, diperlakukan tidak baik, atau tidak didengarkan.
Kamu juga mungkin lebih cenderung berperilaku agresif jika didikan kamu membuatmu menjadi agresif dan melakukan kekerasan. Ini bisa terjadi jika kamu tumbuh dengan:
- Memiliki orang tua yang kasar dan pengasuh atau saudara kandung yang menindasmu.
- Dibesarkan di lingkungan atau komunitas di mana kekerasan dan agresi sering terjadi.
- Mengalami perlakuan kejam atau tidak adil dari guru dan teman sekelas.
Cara Mengatasi Perilaku Agresi
Suatu hal yang manusiawi untuk menjadi frustrasi dan kesal dari waktu ke waktu, dan emosi ini dapat dengan mudah membuatmu merespons dengan perilaku agresif dalam situasi tertentu.
Bekerja untuk mengembangkan dan melatih keterampilan pengaturan emosi yang lebih kuat dapat membuat perbedaan besar.
Namun, menghubungi profesional kesehatan mental menjadi pilihan yang baik ketika perilaku agresif berada di tahap yang:
- Sering terjadi
- Menyebabkan masalah dalam hubungan pribadi dan profesional
- Memengaruhi kehidupan sehari-hari
- Tidak terkendali
Perawatan terbaik untuk perilaku agresif tergantung pada penyebab yang mendasarinya, tetapi terapis selalu dapat menawarkan lebih banyak panduan dengan mengidentifikasi pemicu dan faktor yang berkontribusi.
Terapi biasanya menawarkan ruang yang aman dan bebas untuk:
- Berbagi pengalaman yang mengarah pada kemarahan dan perilaku agresif.
- Mengeksplorasi trauma masa kanak -kanak yang mungkin berkontribusi pada perilaku agresif.
- Mengembangkan metode baru untuk mengatasi emosi yang sulit atau berlebihan.
- Berlatih cara alternatif untuk menavigasi situasi yang membuat frustrasi.
- Belajar mengganti komunikasi agresif dengan komunikasi asertif.
Â
Disadur dari: Liputan6.com (Penulis: Woro Anjar Verianty, Editor: Anugerah Ayu Sendari. Published: 30/8/2022)
Yuk, baca artikel kesehatan mental lainnya dengan mengikuti tautan ini.
Advertisement