Bola.com, Jakarta - Peribahasa Jawa adalah satu di antara dari sekian banyak karya sastra yang berkembang di tengah masyarakat Jawa, yang mengandung kata-kata bijak dan nilai positif di dalamnya.
Kebanyakan orang Jawa dikenal oleh masyarakat luas sebagai pribadi yang memiliki sopan santun dan inspirasi hidup yang penuh makna dari leluhurnya.
Baca Juga
Mengulas Prestasi dan Pendekatan Strategi Pelatih Anyar Arab Saudi Herve Renard: Rajanya Afrika, Punya Rekor Istimewa di Piala Dunia
Cedera Jadi Penyebab 3 Pemain Tidak Bisa Membela Timnas Indonesia Vs Jepang dan Arab Saudi
7 Pemain U-17 yang Nilai Pasarnya Termahal: Lamine Yamal Enggak Ada Lawan, Harganya Selangit
Advertisement
Terdapat banyak kebudayan yang dapat kamu lihat dari masyarakat Jawa, satu di antaranya adalah karya sastra peribahasa Jawa.
Peribahasa Jawa sering digunakan oleh orang tua untuk menasihati putra putri mereka agar lebih siap dalam menjalani kehidupan karena peribahasa Jawa memiliki makna yang mendalam.
Satu di antara jenis karya sastra ini juga diturunkan dari generasi ke generasi sebagai nasihat dan pesan bagi anak-cucu agar selalu menjadi pribadi yang lebih baik.
Bentuk peribahasa Jawa memang cukup ringkas, namun memiliki arti yang mendalam dan biasanya langsung mengena ke dalam hati.
Jika penasaran seperti apa peribahasa Jawa, berikut kumpulan peribahasa Jawa, yang dapat kamu jadikan sebagai pelajaran, seperti dirangkum dari Titikdua, Selasa (28/07/2020).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kumpulan Peribahasa Jawa
1. Ana dina, ana upa. (Ada hari, ada nasi)
Selama orang mau bekerja dengan tekun pasti akan mendapatkan sesuap nasi (rezeki). Peribahasa yang mirip yaitu: "Ora obah ora mamah" (tak mau bergerak, bekerja, tak memperoleh makan). Ini menjadi semboyan bagi orang kecil menyemangati dirinya untuk bekerja.
2. Kebo gupak ajak-ajak. (Kerbau penuh lumpur mengajak kotor yang bersentuhan dengannya)
Ungkapan ini merupakan peringatan bahwa orang yang yang mempunyai sifat dan perbuatan buruk (kotor) cenderung suka mengajak (memengaruhi) orang lain mengikuti perbuatannya. Oleh karena itu, jauhilah orang seperti itu atau jangan berdekatan dengannya.
3. Ngundhuh wohing pakerti. (Memetik buah perbuatan sendiri)
Sebagaimana petani ketika menanam padi, pada saatnya nanti akan menuai padi, bukan jagung. Ini merupakan kiasan untuk orang yang melakukan perbuatan buruk pasti akan memperoleh keburukan pula di kemudian hari.
4. Witing tresna jalaran saka kana. (Awal cinta karena biasa berdekatan)
'Peringatan' bagi laki-laki maupun perempuan agar berhati-hati dalam berteman, karena kedekatan (keakraban) dapat menumbuhkan cinta.
5. Anak polah, bapa kepradhah. (Anak meminta, bapak meluluskannya)
Ini merupakan peringatan bagi orang tua agar bertanggung jawab terhadap kehidupan anak-anaknya. Orang tua harus mempertimbangkan dengan cermat permintaan si anak, mengenai baik-buruk dan manfaatnya, agar tidak menimbulkan permasalahan dalam keluarga.
6. Nabok nyilih tangan. (Memukul pinjam tangan orang lain)
Kiasan terhadap orang licik yang tidak berani menghadapi musuhnya secara terbuka, namun meminta tolong (bantuan) orang lain dengan sembunyi-sembunyi.
Advertisement
Kumpulan Peribahasa Jawa
7. Kekudhung walulang macan. (Berkerudung kulit harimau)
Gambaran orang yang berusaha mencapai keinginannya dengan menggunakan pengaruh dari penguasa atau orang yang ditakuti masyarakat.
8. Becik ketitik, ala ketara. (Baik akan terbukti, diakui, buruk akan kelihatan sendiri)
Anjuran agar siapa pun tidak takut berbuat baik. Meski awalnya belum kelihatan, pada saatnya akan menemukan makna dan dihargai. Dan jika berbuat buruk, sepandai-pandainya menutupi akhirnya akan ketahuan juga.
9. Emban cindhe, emban siladan. (Menggendhong dengan selendang, menggendong dengan rautan bambu)
Nasihat yang kebanyakan ditujukan pada orang tua (penguasa) agar tidak membeda-bedakan perhatiannya terhadap anak atau rakyat (bawahannya). Yang disukai jangan lantas diberi kemudahan, sementara yang tidak disukai terus-menerus disakiti (dipersulit hidupnya).
10. Kegedhen empyak kurang cagak. (Kebesaran atap kurang tiang)
Gambaran dari orang yang berbuat sesuatu melebihi kemampuannya. Dengan memaksakan diri, sebagaimana dikiaskan rumah yang atapnya terlampau besar (lebar) dengan sedikit tiang, besar kemungkinan rumah (cita-citanya) tidak dapat didirikan (terwujud). Misalnya, terwujud (rumah dapat berdiri), konstruksinya akan rapuh sehingga mudah roboh dan akan menimbulkan masalah baru.
11. Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan. (Bukan saudara bukan kerabat, kalau mati ikut kehilangan)
Ungkapan terhadap jasa seseorang yang cukup besar bagi masyarakat sehingga ketika yang bersangkutan meninggal dunia, semua orang akan merasa kehilangan.
12. Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang. (Tersandung di tempat yang rata, terbentur ke langit).
Suatu kejadian yang jarang terjadi. Bagaimana mungkin di tempat rata orang bisa tersandung dan kepala terbentur ke langit? Jika hal itu terjadi dikarenakan kurang hati-hati dan ceroboh. Ini merupakan peringatan agar orang selalu waspada dan berhati-hati dalam berbuat sesuatu.
Kumpulan Peribahasa Jawa
13. Janma tan kena ingina. (Manusia jangan dihina)
Peringatan bahwa orang bisa saja berbeda antara isi dan penampilannya. Jika dilihat dari penampilannya mungkin akan keliru karena banyak orang suka menyembunyikan (menyimpan) kemampuan yang jauh berbeda dengan apa yang kelihatan.
14. Kaya kali ilang kedhunge, pasar ilang kumandhange. (Seperti sungai kehilangan lubuk, pasar kehilangan gema)
Gambaran situasi dan kondisi zaman ketika adat kebiasaan serta tradisi mulai terkikis dan berganti dengan nilai-nilai baru yang belum sepenuhnya dimengerti oleh masyarakat.
15. Utha-uthu nggoleki selane garu. (Ke sana ke mari mencari celah sawah yang dibajak)
Semangat seseorang yang terus berjuang tanpa lelah dan tidak malu dalam usaha mencari nafkah lewat pekerjaan apa pun yang ada di sekitarnya.
16. Mburu uceng kelangan deleg. (Mengejar ikan kecil, uceng, kehilangan tongkat untuk menyeberangi sungai).
Perumpamaan terhadap usaha memperoleh hasil yang relatif kecil dengan mengabaikan usaha lain yang telah dijalankan, akhirnya justru rusak.
17. Sadawa-dawane lurung isih dawa gurung. (Sepanjang-panjangnya lorong, masih lebih panjang kerongkongan)
Manusia suka menyebarkan informasi (berita) dari mulut ke mulut hingga dalam waktu singkat cepat menyebar ke berbagai kalangan.
18. Kaya suruh lumah-kurebe beda, nanging yen gineget padha rasane. (Seperti daun sirih, warna atas dan bawahnya beda, tapi kalau digigit sama rasanya).
Misalnya, penilaian terhadap Belanda dan Jepang. Meski yang satu dari Eropa dan yang lain dari Asia, dulu tujuan datang ke Indonesia adalah sama, yaitu menjajah.
19. Ngelmu iku kelakone kanthi laku. (Menguasai ilmu itu tercapainya lewat proses, perjalanan, lahir maupun batin)
Menurut pandangan Jawa, ngelmu (menjadikan ilmu itu perilaku) penyerapannya memerlukan kekuatan indra batin serta penghayatan pribadi, bukan dengan aktivitas otak atau pikiran saja.
Â
Sumber: Titikdua
Advertisement