Bola.com, Jakarta - Cerpen atau cerita pendek adalah sebuah karya sastra prosa naratif yang mengandung sebuah cerita lengkap dalam ruang yang relatif singkat, serta fokus pada pengembangan karakter dan konflik yang menarik.
Selain itu, cerpen merupakan satu di antara karya sastra yang banyak disukai karena pembaca dapat menyelesaikan dalam rentang waktu yang singkat, hanya dalam hitungan menit atau jam saja.
Baca Juga
Advertisement
Jenis karya sastra satu ini bisa dengan mudah dijumpai. Entah di majalah, buku, koran, atau secara online. Tak heran banyak orang mengisi waktu luangnya dengan membaca cerpen.
Di sisi lain, keluarga sering menjadi tema yang menarik untuk dijadikan inspirasi dalam membuat sebuah cerpen.
Cerpen tentang keluarga biasanya menggambarkan dinamika kehidupan hubungan antaranggota keluarga.
Nah, ada banyak contoh cerpen tentang keluarga yang sarat pesan moral dan mampu menyentuh hati pembacanya.
Berikut lima contoh cerpen tentang keluarga yang menarik dibaca, Rabu (7/2/2024).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kehangatan Keluarga Kecil
Pagi itu mentari bersinar cerah menyinari rumah kecil Rani. Ia terbangun dan tersenyum menatap wajah damai adik kecilnya, Dodi, yang masih terlelap di sebelahnya.
Hari ini adalah Minggu, waktu yang ditunggu-tunggu Rani. Bukan karena libur sekolah, tetapi karena ayah dan ibunya akan ada di rumah seharian.
Rani turun dari tempat tidur dengan hati-hati agar Dodi tidak terbangun. Ia membantu ibunya menyiapkan sarapan sederhana untuk keluarga kecilnya. Tak lama kemudian, ayah dan Dodi sudah duduk manis di meja makan.
"Selamat pagi! Ayo kita sarapan bersama," ucap ibu sambil tersenyum lembut.
Rani sangat menyayangi keluarga kecilnya ini. Meski sederhana, kehangatan keluarga selalu dirasakannya setiap hari.
Bagi Rani, keluarga menjadi obat kehidupan dari beratnya cobaan yang silih datang berganti. Mulai dari cobaan ekonomi keluarga, cobaan di sekolah, dan segala cobaan lainnya. Alhasil, hari Minggu menjadi waktu yang ditunggu-tunggu baginya.
"Nanti siang kita main, Dodi!" ujar Rani kepada adiknya.
Setelah sarapan, mereka menghabiskan waktu dengan bermain dan bercanda tawa. Tawa riang Dodi selalu menghiasi rumah sepanjang hari. Malam harinya, Rani terlelap dengan perasaan bahagia. Keluarga kecilnya adalah harta berharga yang selalu ingin dijaganya.
Advertisement
Waktu yang Berharga Bersama Ayah
Tak seperti ayah pada umumnya, aku hanya bisa bertemu ayah satu bulan satu kali. Kalaupun bertemu waktunya sangat singkat, bisa tiga atau empat hari. Paling lama mungkin sekitar satu minggu ayah bisa diam di rumah.
Ayahku adalah seorang pelaut yang waktunya dihabiskan di tengah samudra. Ketika masih kecil aku tidak mengerti, kenapa ayah tidak bisa pulang setiap hari seperti ayah teman-temanku.
Namun, lambat laun, aku kini paham jika pekerjaan seorang pelaut memaksa ayah untuk tidak pulang setiap hari. Setiap momen kedatangan ayah pulang, aku sangat senang dan menyambutnya dengan sukacita.
Aku sering diajak ayah bermain mengelilingi kompleks perumahan subsidi atau pergi ke pusat perbelanjaan menghabiskan waktu. Di sisi lain, waktu menjelang ayah pergi untuk melaut menjadi momen paling berat.
Sebab di waktu itulah ayah pergi bekerja berbulan-bulan, terkadang tak bisa memberi kabar. Terkadang aku marah dan mengunci kamar setiap kali ayah hendak pergi lagi bekerja.
Ayah dan ibu pun mencoba membujuk aku untuk keluar supaya bisa berpamitan. Egoku masih tinggi sehingga aku tak mau keluar, justru menangis karena tak mau ayah pergi.
Namun, kebiasaan buruk itu lambat laun sudah mulai hilang. Aku sudah agak dewasa dan mencoba tegar untuk melihat ayah pergi melaut kembali.
"Sabar ya Nak, Ayah mungkin tak lama lagi bekerja di kapal. Ayah tak mau meninggalkan keluarga lama-lama," ungkap Ayah.
Ucapan di atas beberapa bulan terakhir sering ia lontarkan ketika hendak pergi bekerja. Tampaknya ayah pun mulai bosan dan tak tenang meninggalkan keluarga lama-lama.
Selain karena aku yang mulai tumbuh dewasa, ibu pun butuh perhatian lebih. Aku pun hanya mengangguk seraya berharap keinginan ayah bisa terkabul secepatnya.
Sore itu, aku berada di teras untuk melepas ayah pergi. Bersama ibu, aku melihat ayah naik mobil untuk bekerja di laut demi anak istrinya.
Kembali aku berharap, semoga ayah bisa pulang secepatnya dan benar-benar bisa terus dekat dengan keluarganya.
Aku dan Keluarga
Pagi ini cuaca sangat cerah, aku bangun dari ranjangku dan meraih handuk yang kuletakkan di atas bangku belajar. Sesekali aku melihat ke arah kaca di sana, aku bisa melihat mata sembab yang menandakan kepedihan. Selesai mandi dan semuanya beres, aku langsung keluar rumah tanpa pamitan dan langsung ke gudang untuk mengambil sepeda lamaku.
Selama di perjalanan pikiranku hanya tertuju pada kejadian semalam. Tak terasa air mata sudah mengalir di pipiku. Setelah sampai di gerbang sekolah aku langsung memarkirkan sepeda dan berjalan lemas ke arah kelasku. Teman temanku mungkin merasa aneh dengan sifatku hari ini.
"Clara apa yang sedang terjadi denganmu," tanya Aries.
"Aku enggak apa-apa," balasku.
Akhirnya pelajaran terakhir pun selesai. Aku langsung berjalan ke arah sepedaku dan mengayuhnya dengan hati-hati. Saat sudah sampai di depan pintu rumahku aku mendengar teriakan, bahkan makian yang tak pantas keluar dari mulut kedua orang tua. Aku mengurungkan niat masuk ke rumah itu dan langsung mengayuh sepeda sekencang mungkin dengan harapan supaya angin bisa membawa beban pikiranku.
Tiba-tiba aku langsung terhenti di taman bermain yang pernah aku mainin bersama keluargaku. Tak terasa air mata kembali membasahi pipiku. Aku duduk sebentar di ayunan itu. Beberapa menit kemudian aku ingin pulang ke rumah karena merasa lapar. Setelah sampai di rumah aku langsung membuka kulkas dan menemukan snack kesukaanku dan memakannya dengan tenang.
"Clara keputusan ayah sudah bulat. Jika kamu tetap tidak menyetujui perceraian itu maka akan sia-sia." Mendengar hal tersebut membuatku semakin kesal dan sedih.
"Iya, bercerailah dengan cepat! Lebih cepat lebih bagus," ujarku dengan nada tinggi.
Sebenarnya kejadian seperti ini baru terjadi semenjak kakakku meninggal. Sebelum kakakku meninggal, semuanya baik-baik saja. Saling berbagi kehangatan, tapi itu bukan untukku, semuanya hanya untuk kakakku.
Aku langsung berhenti menulis dan merebahkan diri di rajangku dan tidur. Keesokannya aku bangun dari tidur dan menjalankan rutinitas pagiku, aku turun dari tangga dan langsung diberi pelukan hangat dari ibuku. Aku langsung terheran heran.
"Mulai sekarang kami akan menyayangimu seutuhnya," kata ibuku dengan lembut.
"Namun, kertas perceraiannya?"
Ternyata mereka sudah membuang surat perceraian itu ke kotak sampah. Akhirnya aku datang ke sekolah dengan muka berseri-seri, teman-temanku sangat terheran-heran sedangkan aku hanya tersenyum lebar kepada mereka.
Advertisement
Keluarga Kecil Kehidupanku
Devi adalah seorang gadis remaja yang memiliki tanggung jawab besar atas keluarganya. Karena sudah tidak memiliki ibu, ia bertanggung jawab menjadi sosok ibu ke-dua untuk adik-adiknya.
Ayah Devi yang dipecat dari perusahaannya sejak tiga bulan yang lalu membuat ia harus berputar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ditambah kondisi kesehatan ayahnya yang sakit.
Devi adalah anak baik, ia tidak pernah menyalahkan Tuhan atas ujian yang diterimanya. Justru semua ujian ini membuatnya kuat dan tetap bertahan di atas kerasnya kehidupan.
Namun, ada saatnya seorang gadis berputus asa dan mengambil tindakan yang salah. Devi terjun ke dunia kriminal demi mencukupi semua kebutuhan ayah dan adik-adiknya. Ia tergiur akan ajakan temannya untuk bekerja sama melakukan aksi tercela.
Namun, semua itu bukan berbuah keuntungan, malah menjadi masalah baru dan pukulan keras yang datang menghampiri Devi.
Meski begitu, tidak selamanya Tuhan memberikan ujian terus menerus kepada setiap umatnya. Ujian Devi selesai, walaupun ia menyikapinya dengan salah. Semua ujian itu terlewati, pasti akan muncul kebahagiaan.
Keluarga Sederhana
Namaku Mariyam, aku tinggal di sebuah pedesaan di Jawa Barat. Ayahku bekerja sebagai guru ngaji di kampungku. Dan ibuku seorang penjahit. Kami berkehidupan sangat sederhana.
Aku bersekolah di SD Negeri dekat kampungku, setiap hari aku mengambil dagangan dari Mpok Yuni untuk dititipkan di warung-warung sambil berangkat sekolah.
Pulangnya aku akan menagih hasil simpanan di warung-warung tersebut. Pekerjaan ini aku lakukan untuk meringankan beban kedua orang tuaku agar tidak memberikan uang jajan.
Namun, ada satu di antara ajaran yang diajarkan oleh ayah ibuku yang sampai saat ini selalu teringat yaitu sedekah Subuh.
"Sedekahlah saat waktu Subuh karena pada waktu Subuh akan datang malaikat yang memohonkan dua permohonan. Yang pertama tambahkanlah rezeki orang yang menunaikan sedekah Subuh dan bangkrutkanlah orang yang menahan hartanya dan tidak bersedekah."
Itu merupakan nasihat dari sang ayah ketika selesai melaksanakan salat Subuh. Aku ibu dan ayah mempunyai tempat sendiri-sendiri untuk menyimpan sedekah Subuh kami.
Dan amalan itu telah kami amalkan sampai usiaku 30 tahun dan kini orang tuaku telah tiada, tapi nasihatnya masih kami amalkan dan sangat luar biasa.
Kehidupan kami begitu damai dan tenteram, meski kami tidak kaya, setiap rezeki yang kami dapatkan terasa berkah dan nikmat karena kunci kenikmatan adalah rasa syukur.
Kesederhanaan yang diajarkan orang tua kami begitu sangat berarti untuk kami menjalani kehidupan duniawi yang hanya sebentar ini.
Dapatkan artikel contoh berbagai tema lain dengan mengeklik tautan ini.
Advertisement