Bola.com, Jakarta - Beberapa hari lalu, suasana di Paris Expo Porte de Versailles, heboh. Bahkan, keriuhan tersebut menjadi satu di antara magnet unik penyelenggaraan Olimpiade 2024.
Di tengah seabreg masalah pelik di Paris 2024, nuansa menawan ada di venue cabang tenis meja tersebut. Versailles menjadi saksi nyata kombinasi antara impian, kebahagiaan dan kebanggaan.
Advertisement
Tapi, jangan salah menebak lho ya. Kali ini tidak ada kaitannya dengan impian yang terealisasi karena mendapat medali emas di panggung Olimpiade 2024 Paris. Hal itu tak akan terjadi, karena saat ini cabang tenis meja di semua nomor masih berada di zona perempat final.
Jauh sebelum babak delapan besar, ada momen yang mengombinasikan antara kenyataan, kebahagiaan, kebanggaan bahkan tujuan akhir dari 'kehidupan'. Satu nama yang menghubungkan semua itu adalah Zhiying Zeng.
Yup, dia memang tak sanggup melewati adangan petenis meja putri asal Lebanon, Sahakian, karena takluk dengan skor 11-4, 14-12, 5-11, 3-11 dan 8-11. Namun, selepas gim ke-5, seluruh penonton yang ada di venue berdiri dan memberi tepuk tangan alias standin ovation.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Magnet Unik
Sang magnet utama kala itu adalah Zhiying Zeng, petenis meja putri asal Chile. Bukan semata karena dia berasal dari negara dengan tradisi tenis meja yang tak kuat, melainkan fakta sang olimpian yang beraksi di Paris saat usianya sudah menginjak 58 tahun. Wow!
Oma Zhiying Zeng, panggilan akrabnya selama ini, tampil menawan dan memberi perlawanan berat bagi sang lawan. Dia telah memberi bukti jika 'age isn't a big matter'. Buktinya, dia sanggup tampil 5 gim.
Tak ayal, setelah pertandingan, justru Zhiying Zeng yang mendapat penghormatan luar biasa dari lawan dan penonton. Aksinya membela bendera Chile, menciptakan fakta bersejarah sebagai satu di antara atlet tertua asal negara di Amerika Selatan itu, yang telah tampil di pentas Olimpiade.
Mata Zhiying Zeng berbinar saat menceritakan hari di mana mimpinya seumur hidup untuk mengikuti Olimpiade menjadi kenyataan. Pada usia 58 tahun, Zeng menjadi satu di antara atlet tertua di Paris 2024.
Bagi Zhiying Zeng, keberadaannya di Paris menjadi jawaban atas kerja keras selama ini. Ia memulai perjalanan impian ke Olimpiade di Tiongkok pada era 1970-an. Puncaknya terjadi, ketika ia bisa melaju ke pesta olahraga multicabang tersebut saat membela Chile.
Advertisement
Kisah Yahud
Kisah perjalanan Zhiying Zeng sangat menarik. Dia sempat pensiun dari tenis meja profesional pada usia 20 tahun. Keputusan ini menjadi sesuatu yang memberinya kesempatan meninggalkan hidup di Asia dan pindah ke Chile.
"Ini adalah mimpi terbesar dalam hidupku. Ketika kecil, saya mendapat pertanyaan apa mimpiku, dan aku menjawab 'Menjadi Olimpian', sesuatu yang membutuhkan perjalanan luar biasa," jelas Zhiying Zeng.
Chile telah menjadi rumah bagi Zhiying Zeng selama 35 tahun. Lucunya, di negara barunya tersebut, tak ada yang memanggil nama dengan Zeng atau Zhiying, melainkan Tania. Usut punya usut, orang Chile ternyata susah mengucapkan huruf 'Z'.
Zhiying Zeng lahir di Guangzhou pada 1966. Ibunya adalah seorang pelatih tenis meja, yang membuat Zeng bisa berlatih setiap hari. Pada usia sembilan tahun, ia enggan ditempat sang ibunda, dan memutuskan pergi pada usia 11 tahun, yakni masuk akademi olahraga elit.
Bakat Zeng sudah terlihat sejak dini. Dia menjadi juara di turnamen junior itingkat nasional dan memenangkan beberapa turnamen regional sebelum menjadi profesional pada usia 12 tahun. Ketika berusia 16 tahun, dia dipanggil ke tim tenis meja Tiongkok untuk kali pertama.
"Banyak pemain di Tiongkok yang memiliki mimpi itu karena sangat sulit dicapai," kenang Zhiying Zeng. Namun, pada 1986, dua tahun sebelum tenis meja debut di Olimpiade Seoul, "aturan dua warna" diperkenalkan, yang berarti dua sisi raket sekarang harus berbeda warna alih-alih keduanya hitam.
SIsi Berbeda
Zeng menjelaskan, dua sisi raket menghasilkan jenis efek yang berbeda. Imbasnya, musuh akan mudah menebak arah serta model pukulan. "Perubahan aturan sangat mempengaruhi permainanku. Saat itulah aku mengalami penurunan besar dan keluar dari tim nasional," sebutnya.
Pada sisi lain, perubahan aturan membuka jalan bagi babak berikutnya dalam kisah luar biasa Zeng. Tahun 1989, dia menerima undangan untuk melatih anak-anak sekolah di Arica, sebuah kota di Chile.
Sejak saat itu, ia menjadi pelatih. Namun, impian menjadi Olimpian masih terus ada di kepalanya. Tak heran, pada tahun 2003, ia memutuskan kembali ke jenjang profesional.
Pada 2004 dan 2005, Zeng dengan mudah memenangkan dua turnamen nasional. Anehnya, lagi-lagi, ia sempat berhenti karena ingin fokus membimbing sang putra menjadi petenis meja profesional.
Pada akhirnya, Zeng hanya bergelut lagi dengan persaingan tenis meja ketika pandemi Covid-19 melanda. "Lebih dari apapun, hanya untuk berolahraga karena kami tidak melakukan apa-apa terkunci di rumah kecuali makan," katanya.
Cerita berulang lagi pada 2022. Ketika itu, Federasi Tenis Meja Chile mengirimkan pengumuman ke asosiasi regional, mereka akan mengadakan turnamen untuk membentuk tim. Para pemain terbaik akan terjun di Kejuaraan Tenis Meja Amerika Selatan 2023.
Advertisement
Sempat Ragu
Zeng sempat ragu untuk pergi, karena khawatir dengan kemampuannya. Namun, berkat dorongan teman-teman, ia berangkat, dan berhasil menjadi bagian timnas Chile.
Pada kejuaraan level Amerika Selatan, Zhiying Zeng membawa Chile menjadi jawara di nomor tim putri. Ia finis di posisi 'runner-up' pada nomor tunggal putri dan ganda putri.
Tak lelah, ia lanjut ke Pan American Games 2023, yang sekaligus sarana seleksi menuju Olimpiade 2024. Hasilnya luar biasa, ia menjadi juara. Pasca-kemenangan tersebut, ia mendapat panggilan baru Ta Tania, alias Bibi Tania.
Presiden Chile, Gabriel Boric menjadi penggemar dan mengucapkan selamat. Pada akhirnya, 38 tahun setelah dia menyerah pada mimpinya untuk Olimpiade, Zeng lolos ke Paris 2024 pada turnamen pra-Olimpiade di Lima, Peru, pada Mei tahun ini.
Zeng mengatakan dia tidak tidur sama sekali malam sebelum pertandingan penentuan. Setelah berhasil, ia selalu mengenang apa saja yang sangat luar biasa di masa lalu.
Zhiying Zeng bercerita, ia selalu ingat sang ayah yang berusia 92 tahun, secara teratur mengunjunginya di Chile. Ia juga menyimpan memori, seluruh saudaranya di Tiongkok tetap terjaga sampai jam 5 pagi demi menonton pertandingan.
"Ayah saya bisa melihat putrinya lolos ke Olimpiade dan sekarang benar-benar di Paris. Dia dulu membawa saya ke latihan dan sekarang usahanya sudah terbayar," kenang Zhiying Zeng.