Bola.com, Jakarta - SEA Games tahun 1991 jadi momen penting dalam perjalanan sejarah Timnas Indonesia. Tim Merah-Putih yang diarsiteki Anatoli Polosin mempersembahkan medali emas bagi Indonesia setelah menang dramatis melalui adu penalti 4-3 (0-0) atas Thailand di Stadion Rizal Memorial, Manila, Filipina.
Sukses Tim Garuda meraih medali emas kedua sepanjang sejarah juga terasa semakin spesial. Selain mengalahkan musuh bebuyutan Thailand, Timnas Indonesia “berpesta” di negeri orang. Pada SEA Games 1987, Timnas Indonesia meraih medali emas perdana saat berstatus sebagai tuan rumah.
Baca Juga
Drama Timnas Indonesia dalam Sejarah Piala AFF: Juara Tanpa Mahkota, Sang Spesialis Runner-up
5 Wonderkid yang Mungkin Jadi Rebutan Klub-Klub Eropa pada Bursa Transfer Januari 2025, Termasuk Marselino Ferdinan?
Bintang-Bintang Lokal Timnas Indonesia yang Akan Turun di Piala AFF 2024: Modal Pengalaman di Kualifikasi Piala Dunia
Advertisement
Hanya, Ferril Raymond Hattu cs. membawa pulang medali emas ke Tanah Air melalui perjuangan yang berat.
Setelah mengalahkan Malaysia (2-0), Vietnam (1-0), Timnas Indonesia yang lebih banyak menurunkan pemain lapis kedua pada pertandingan ketiga justru tertinggal lebih dahulu 0-1 dari Filipina di babak pertama.
Suntikan semangat yang diberikan Polosin saat jeda babak pertama membuahkan hasil positif. Tendangan penalti, Raymond Hattu, dan striker muda Rocky Putiray, membalikkan keadaan menjadi 2-1 atas Filipina. Timnas Indonesia pun melenggang ke semifinal sebagai juara Grup B dengan mengoleksi poin sempurna dari tiga pertandingan.
Perjuangan para pengawa Tim Garuda mulai menemui jalan berliku pada babak semifinal. Tim yang diperkuat banyak pemain muda tersebut harus berjuang hingga babak adu penalti untuk lolos dari adangan Singapura yang diperkuat, Fandi Ahmad. Skor 0-0 bertahan selama 120 menit dan Timnas Indonesia akhirnya melaju ke final setelah menang adu penalti dengan skor 4-2.
Kendati lolos ke final, pesimisme publik mengenai peluang Timnas Indonesia mengulangi pencapaian di SEA Games 1987, tetap mengemuka. Keraguan itu mencuat seiring kiprah anak asuh Polosin yang lebih mengandalkan kekuatan fisik ketimbang permainan cantik.
Selain itu, Timnas Indonesia juga menghadapi Thailand yang mengincar gelar keempatnya di Rizal Memorial Stadium.
"Sejauh yang saya lihat di media-media waktu itu kami memang tidak diunggulkan. Hasil uji coba kami jelek, main bola saat itu juga tidak cantik, dan tidak punya pola permainan yang bagus. Kami hanya punya mental pemenang," ujar Sudirman.
Kematangan mental itu terbukti mampu memberikan perbedaan karena sebenarnya dalam drama adu penalti Timnas Indonesia nyaris menangis. Eksekutor pertama kedua tim, Raymond Hattu dan Attapon Busbakom menjalankan tugas dengan baik dan membuat skor menjadi 1-1.
Thailand kemudian unggul 2-1 setelah tendangan Maman Suryaman mampu ditepis. Kedudukan berubah menjadi 3-2 untuk Thailand setelah eksekutor ketiga kedua tim sama-sama berhasil mengeksekusi penalti.
Yusuf Ekodono lantas mengawali kebangkitan Tim Garuda setelah mengelabui kiper Thailand, Chaiyong. Eddy Harto kemudian menjadi penentu setelah menahan tembakan Suksok.
Tekanan adu penalti semakin terasa setelah Widodo Cahyono Putro dan Ranachai Busbakom gagal membobol gawang lawan. Namun, Timnas Indonesia akhirnya membalikkan keadaan setelah sepakan Sudirman tak mampu dihalau kiper lawan. Setelah itu, Eddy Harto yang waktu itu berusia 29 tahun memastikan skor 4-3 usai memblok eksekusi Pairot.
Timnas Indonesia menang dan berpesta setelah memastikan medali emas kedua sepanjang sejarah partisipasi di pesta olahraga se-Asia Tenggara itu. “Masih bisa saya rasakan bagaimana tegangnya kami waktu itu. Terpenting, Indonesia tak hanya bisa menang di Jakarta,” ujar Eddy Harto.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Data dan Fakta SEA Games 1991
Babak penyisihan Grup B
- Indonesia Vs Malaysia 2-0 (Gol: Widodo C Putro, Rocky Putiray)
- Indonesia Vs Vietnam 1-0 (Gol: Robby Darwis)
- Indonesia Vs Filipina 2-1 (Gol: Ferryl Raymond Hattu, Rocky Putiray; Pinero Rolando)
Semifinal
- Indonesia vs Singapura 0-0 (4-2)
Final
- Indonesia vs Thailand 0-0 (4-3)
Skuat Timnas Indonesia di SEA Games 1991:
Eddy Harto, Erick Ibrahim, Heriansyah, Robby Darwis, Sudirman, Salahuddin, Herry Setiawan, Toyo Haryono, Aji Santoso, Hanafing, Kashartadi, Maman Suryaman, Yusuf Ekodono, Ferril Raymond Hattu, Widodo C Putro, Bambang Nurdiansyah, Peri Sandria, Rochy Putiray
Pelatih: Anatoli Polosin
Advertisement
Latihan 3 Kali Sehari
Anatoli Fyodorich Polosin memiliki kiblat sepak bola yang jelas. Sebagai orang Eropa Timur, Polosin lebih mengedepankan kekuatan fisik ketimbang sepak bola indah yang pernah diturunkan pelatih asal Belanda, Wiel Coerver, untuk Tim Garuda pada era 1970-an.
Saat masa persiapan menuju SEA Games, Polosin menempa fisik Raymond Hattu dan kawan-kawan dengan keras. Selama tiga bulan, fisik seluruh pemain digenjot dengan materi latihan yang di luar batas kemampuan pemain kala itu. Pemain muntah-muntah dan kabur dari pemusatan latihan jadi hal yang lumrah.
Kala itu, Polosin menilai Timnas Indonesia tidak bisa berbicara banyak karena kondisi fisik yang tidak memadai. Oleh karena itu, ia tetap jalan terus dengan metode “Shadow Football” walau Satgas Pelatnas saat itu, Kuntadi Djajalana, mengaku sempat ada perdebatan ketika Timnas Indonesia digembleng begitu keras.
“Polosin sempat melihat pertandingan Galatama sebelum memanggil pemain untuk pemusatan latihan. Ia pun bilang bahwa kami hanya kuat main di babak pertama saja kemudian menurun di babak kedua,” kata Sudirman.
“Kami pun latihan sehari tiga kali dan dominan fisik. Saking capeknya kami sampai malas mandi. Bahkan pemain seperti Fachry (Husaini) hingga Jaya (Hartono) tidak kuat dan memilih mundur. Saat latihan dengan menaiki gunung, Kashartadi sampai menangis. Dia bilang bal-balan opo iki kok pake naik gunung segala,” ia menambahkan.
Fisik para pemain Timnas Indonesia mengalami peningkatan drastis berkat gemblengan Polosin yang diketahui tidak cukup mahir bicara bahasa Indonesia selama melatih di Tanah Air. Ia bisa membuat pemain berlari menempuh jarak 4 kilometer dalam waktu 15 menit. Standar VO2Max pemain pun sudah sesuai dengan pemain Eropa.
Kekuatan fisik yang meningkat drastis dijajal Polosin dengan mengikuti ajang Presiden Cup di Seoul. Namun, hasilnya mengenaskan karena Tim Garuda takluk dari klub Austria, China U-23, Mesir, Korea Selatan, dan Malta. Timnas Indonesia kebobolan 17 gol dan hanya memasukan satu gol.
Kegagalan dalam beberapa laga uji coba tak diambil pusing oleh Polosin. Timnas Indonesia tetap melangkah penuh keyakinan ke Manila demi merealisasi target meraih medali emas pertama saat bermain di negeri orang.
“Hasil uji coba nggak bagus karena Polosin juga tidak peduli. Sebabnya intensitas latihan tetap tinggi selama periode uji coba itu dan dia baru menurunkan intensitas jelang tampil di SEA Games. Dia sudah menghitung semua itu menurut cara dia,” kata Sudirman.
Keyakinan dan keteguhan hati Polosin berbuah catatan spesial. Timnas Indonesia menjadi raja Asia Tenggara dengan catatan tak terkalahkan sepanjang turnamen. Polosin yang didampingi Vladimir Urin dan Danurwindo membawa anak asuhnya mengalahkan Malaysia, Vietnam, Filipina, Singapura, dan menang adu penalti atas Thailand pada laga final.
“Banyak keluhan, banyak suka, dan juga duka. Ibaratnya kami disiksa sama Polosin. Terus terang saja saat itu kami sebenarnya main tidak punya pola apalagi teknik, yang kami punya hanya fisik,” tukas Peri Sandria.
Mantan pemain Mastran Bandung Raya itu juga bercerita bahwa kapten Thailand saat itu sempat berbicara dengannya karena bingung melihat pemain Timnas Indonesia yang tidak ada capeknya.
“Dia bingung, saya pun juga bingung. Kalau dikatakan jeleknya kami main seperti babi hutan. Tidak ada belok kiri atau belok kanan. Pokoknya lurus saja,” kata Peri seraya tertawa.
Fisik yang Kuat
Timnas Indonesia di SEA Games 1991 punya ciri khas yang membuat pencinta sepak bola sulit untuk melupakan mereka. Selain kekuatan fisik yang bagus, Tim Garuda juga didominasi para pemain muda terbaik Indonesia.
Dari 18 pemain yang dibawa Anatoli Polosin ke Manila, lebih dari 10 pemain merupakan para pemain muda yang memiliki masa depan cerah. Sebut saja Sudirman, Rochy Putiray, Widodo Cahyono Putro hingga Peri Sandria.
Para anak muda ini dipadukan dengan beberapa pemain senior macam Robby Darwis, Hanafing, Eddy Harto, dan juga sang kapten, Ferril Raymond Hattu. Kombinasi pemain junior dan senior ini terbukti berjalan baik dengan bimbingan keras, Polosin.
“Pemain senior dan junior tidak ada jarak, kami sudah seperti keluarga. Saya pun saat itu sangat fokus ke timnas. Bahkan sampai anak saya lahir, saya tidak tahu karena sudah fokus ke sana (SEA Games). Waktu saya terima medali emas juga sempat menangis karena kerja keras saya tidak sia-sia,” kata Peri.
Satu nilai plus lain dari Polosin adalah ia tidak peduli dengan status pemain bintang di Timnas Indonesia. Hal itu pula yang membuat ia berani menepikan pemain sekelas, Ricky Yakob, yang tidak ia bawa ke Manila.
“Dia tidak butuh pemain dengan nama besar. Dia butuh pemain yang bekerja keras dan mau menjalankan program dia. Tidak ada yang mengeluh di tim walau kerap ada kejadian yang tidak menyenangkan,” ucap Sudirman.
Pria yang kini berusia 48 tahun ini pun bercerita saat ia bersama Herrie Setiawan, Robby Darwis, dan Peri Sandria baru pulang pukul lima pagi setelah keluar sejak malam hari saat Timnas Indonesia menggelar pemusatan latihan di Bandung.
“Namanya grup ini grup metal. Saat itu kebetulan manajer (IGK Manila) sedang senam pagi di luar hotel dan memergoki kami baru pulang jam 5 pagi. Kami dilaporkan ke Polosin tetapi pelatih cuek saja. Dia tidak peduli soal itu karena terpenting pemain tetap ikut latihan jam 7 pagi,” ucapnya seraya tertawa.
Mantan kapten Timnas Indonesia ini juga mengungkapkan sekelumit cerita yang mewarnai keberhasilan Tim Garuda meraih gelar kedua SEA Games di Manila tahun 1991. Saat adu penalti melawan Thailand, Polosin tidak mendampingi para pemain di pinggir lapangan.
Pelatih asal Uni Soviet (sekarang Rusia) itu memilih untuk berada di ruang ganti Timnas Indonesia saat berjalannya adu penalti. Praktis hanya Vladimir Urin dan Danurwindo menjadi pendamping Sudirman dan kawan-kawan.
“Dia tidak menonton kami saat adu penalti. Dia masuk ke dalam kamar ganti pemain karena tegang. Om Danurwindo yang memimpin tim walau lima penendang pertama sudah ditentukan oleh Polosin,” kata Sudirman menuturkan.
Begitu ada penalti memasuki fase sudden death karena tidak ada pemenang di antara Timnas Indonesia dan Thailand hingga penendang kelima, Sudirman akhirnya maju sebagai eksekutor penalti tambahan. Ia menjadi pengganti seniornya, Robby Darwis yang menolak mengambil tendangan 12 pas.
“Saat penendang keenam saya akhirnya yang maju karena Robby menolak dan tidak ada pemain lain yang berani. Biasanya Robby yang ambil untuk adu penalti karena dalam sesi latihan pun sering seperti itu,” ia menuturkan.
Advertisement
Cerita Stadion Mendadak Sunyi Sudirman
“Tegang. Itulah yang saya rasakan saat pertandingan final melawan Thailand harus diakhiri melalui adu penalti. Saat itu lima penendang penalti sudah ditentukan dan saya tidak masuk dalam daftar tersebut.”
“Ketegangan juga dirasakan pelatih Anatoli Polosin. Dia memutuskan untuk tidak menonton kami melakukan tendangan penalti. Dia merasa tegang dan memilih untuk masuk ke dalam ruang ganti tim.”
“Kami dapat kesempatan pertama menendang penalti. Dua tendangan dari Maman Suryaman dan Widodo Cahyono Putro nggak masuk, begitu pula tendangan dua pemain Thailand bisa dihalau Eddy Harto.”
“Saya lupa pemain Thailand yang gagal melakukan tugasnya. Yang saya ingat setelah itu adalah Danurwindo kemudian masuk ke lapangan untuk menunjuk penendang keenam timnas.”
“Dia menunjuk Robby Darwis, tetapi Robby menolak. Saat itu saya pun refleks saja untuk mengangkat tangan. Danurwindo lalu bertanya “Benar kamu berani? Kemudian saya jawab saya, berani.”
“Begitu saya berjalan menuju arah bola, saya merasa seisi stadion benar-benar sunyi. Saya merasa seperti berada di awang-awang. Padahal, saat itu stadion penuh karena pertandingan cabang sepak bola jadi penutup SEA Games 1991.”
“Saat itu, saya sudah menentukan akan menendang ke sisi kiri kiper lawan. Ketegangan pun memuncak selama saya berjalan menuju bola. Mungkin denyut nadi saya saat itu mencapai 150 per menit dan perjalanan ke kotak penalti terasa jauh.”
“Begitu berhadapan dengan bola, saya melakukan sesuai dengan apa yang saya pikirkan. Hasilnya bola masuk ke dalam gawang Thailand dan kami pun unggul.”
“Setelah itu penendang penalti Thailand gagal melakukan tugasnya. Saya dan rekan-rekan setim langsung berhamburan ke arah Eddy Harto. Kami mengejar Eddy Harto dan menggotong dia bak pahlawan. Kami pun bersukacita di sana.”