Bola.com, Jakarta - Kabar pengunduran diri bek Barcelona, Gerard Pique, itu cukup mengejutkan. Bagaimana tidak? Ia masih memiliki kontrak sampai 2024.
Dengan duduk manis saja dia bisa menikmati aliran dana yang tidak sedikit. Namun yang ia lakukan sebaliknya: mengundurkan diri. Melawan Almeria (5/11/22) menjadi pertandingan terakhirnya.
Advertisement
Tulisan tentang pria kelahiran 2 Februari 1987 itu menjadi menarik bukan karena ia pemain legendaris FC Barcelona dan Timnas Spanyol. Secara intelektual, ia memiliki kadar intelektual yang cukup tinggi. Ada yang mengatakan ia memiliki IQ 140 meski yang lainnya malah mengklaim pria bernama lengkap Gerard Pique Bernabeu memiliki IQ 170.
Klaim tingginya IQ sebagai indikator potensi belajar seseorang mestinya merupakan hal yang wajar. Yang jauh lebih penting mempertanyakan sejauh mana variabel pada IQ itu bisa diwujudkan. Dengan demikian IQ tidak sekadar sebagai angka tetapi terbukti. Kegeniusan Albert Einstein yang ber-IQ 160 misalnya terbukti melalui teori umum relativitas, atom, dan fusi nuklir.
Lalu apa yang dilakukan Pique untuk membenarkan tentang kecerdasan intelektualnya?
Pada level paling bawah, keberanian seseorang melepaskan diri dari sebauh klub besar dengan gaji menggiurkan tentu tidak mudah diambil. Dengan hanya goyang kaki, ia sudah meraup jutaan euro setiap bulan. Tetapi level intelektualitasnya membuatnya berbeda.
Di tengah situasi klubnya yang sedang mengalami krisis ekonomi, Pique justru hadir memesonakan. Ia tidak ingin jadi bagian dari masalah tetapi solusi. Kepergiannya secara sukarela bisa mendatangkan dua pemain selevel dengannya sebagai pengganti.
Kecerdasan diri juga bisa diukur dari kesadaran diri. Dengan bertambahnya usia saat bersamaan terjadi degradasi fisik secara perlahan. Karena itu orang yang cerdas (dan bijak) memilih untuk mengundurkan dirinya ketimbang menunggu sampai diundurkan. Justru di sinilah terpateri kecerdasan intelektual yang patut dikagumi.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Pergi untuk Kembali
Lalu apakah setelah gantung sepatu, pemain yang mulai bergabung dengan FC Barcelona dari 1997 (saat masuk di La Masia), itu akan pergi seterusnya?
Sepintas dan hanya mengamati dari kulit luar, dengan mudah orang mengklaim pamitnya Pique sebagai sebuah kegagalan entah karena kalah bersaing dengan pemain yang lebih muda atau bahkan akibat percintaannya yang kandas. Karenanya disinyalir, ia pergi dan tidak akan kembali.
Tetapi bila melihat persiapannya yang taktis dan straegis sejak 2017, langkah itu justru menghadirkan hal yang patut dikagumi. Di musim panas 2017, ia mengambil master dalam Ekonomi dan Bisnis di Universitas Harvard di bawah bimbingan Profesor Anita Elberse.
Langkah strategis ini tidak mudah diambil oleh semua pemain dengan kadar intelektual yang sedang. Ia hanya bisa dibidik oleh pemain sepak bola yang diklaim memiliki IQ tertinggi. Sebaliknya Pique justru merancang masa depannya secara sangat strategis dengan kajian yang pasti untuk karier barunya dalam dunia bisnis.
Hal seperti ini membedakan kualitas Pique dari banyak pemain yang mengambil profesi yang linear dengan olahraga yang digeluti. Pique justru mengadakan lompatan spektakuler.
Hal lain, dengan kecerdasan intelektual tinggi, Pique tidak berhenti dengan ide melangit. Ia justru sejak awal telah terlibat dalam realisasi kecerdasan itu dalam tindakan. Keterlibatannya dalam bisnis Video Game hingga minuman isotonik merupakan contoh kecil.
Tetapi di FC Barcelona ia bahkan memainkan peran negosiasi yang menguntungkan klub Katalan itu. Hadirnya Rakuten sebagai sponsor tidak akan terjadi kalau Pique tidak meretas hubungan dengan Hiroshi Mikitani alias “Mickey”.
Bukan itu saja. Pique malah bermain lebih jauh. Keputusan Super Liga Spanyol yang dimainkan di luar Spanyol merupakan kontribusi Pique. Ia pandai berdiplomasi hingga raja Juan Carlos terkesima dan melakukan diplomasi hingga disetujui Raja Arab Saudi agar perhelatan itu bisa dilakukan di Arab Saudi.
Bukti keterlibatan nyata seperti ini tentu menjadi catatan bahwa Piqué tidak pergi selamanya. Dalam video perpisahannya yang berdurasi kurang dari 3 menit, ia ungkapan dengan sangat jelas: Me voy, pero volveré. (saya pergi tetapi saya akan kembali). Ia pergi dengan kepala terangkat telah berpartisipasi dalam 600 pertandingan dengan 30 piala yang tidak mudah dicapai oleh banyak pemain.
Advertisement
Bidik Jalan Jadi Presiden Barcelona?
Tetapi ada hal yang lebih jauh ia ingin tunjukkan. Ia ingin menyampaikan bahwa sepak bola bukan tujuan akhir. Bahwa ia lewatkan 25 tahun di dunia sepak bola, maka itu sebenarnya hanyalah jalan.
Ia melewati sepak bola untuk mencapai sesuatu lebih besar yang ia ingin lakukan setelah pensiun yaitu dalam dunia olahraga, media, dan hiburan.
Dalam proses ini maka menjadi presiden FC Barcelona mestinya bukan hal yang tidak mungkin. Dengan jaringan yang ada melalui Kosmos, ia bisa mencapainya dan itu tinggal waktu saat ia kembali.
Tidak hanya itu. Ia juga akan kembali dalam aneka ide kreatif, termasuk membuat Piala Dunia Tenis dan masih banyak hal lagi. Itu berarti ia pergi untuk kembali. Sebuah kepergian yang sekaligus menjadi indikator kegeniusannya. Ia akan kembali dengan ide kreatif yang lebih memukau nantinya.
Di atas semuanya, saat kembali, Pique hanya akan membenarkan kata-kata yang pernah ia ucapkan: You have to live your life day by day, enjoy what you’re doing right now. Apa yang ia lakukan kini hanya wujud dari apa yang terpikir dan lakukan hari demi hari sebelumnya. ¡Qué te vaya bien Geri. Te esperamos de vuelta! (Jalan baik-baik Geri, Kami mengharapkanmu kembali).
Robert Bala.
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid – Spanyol.